Sabtu, 23 April 2016

HIKMAH SURAT AR-ROHMAN

>>> Hikmah Tauhiid <<<

HIKMAH SURAT AR-ROHMAN
(Oleh: Aa Gym)

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Alloh Swt., Dzat Yang Maha Menciptakan segalanya dan Menguasai segalanya dengan sempurna. Tiada satupun yang lepas dari genggaman-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Surat Ar Rohman adalah satu-satunya surat yang mengulang kalimat yang sama sebanyak 31 kali. Kalimat tersebut berbunyi, “Fabiayyi aalaa-i Robbikumaa tukadzibaan”, yang artinya“Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang engkau dustakan”. Setiap membaca kalimat ini seharusnya membuat kita merasa dicelupkan ke dalam samudera karunia Alloh yang teramat luas tanpa batas sehingga tak pernah bisa kita menghitungnya. Jika kita menafakuri karunia Alloh, maka sebenarnya kita akan sulit menemukan ketidaknikmatan karena ternyata sejauh mata memandang yang kita temukan adalah berbagai kenikmatan dari Alloh Swt.

Karunia Alloh yang begitu banyak dan luas terbentang di sekitar ini adalah kemudahan dari Alloh agar kita mudah bersyukur. Tidak melulu memikirkan apa yang belum ada sedangkan yang sudah ada tidak kita perhatikan. Nikmati dan syukuri apa yang ada. Karena sikap bersyukur adalah jalan pengundang datangnya karunia Alloh yang belum ada pada diri kita.

Alloh Swt. berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrohim [14]: 7)

Daripada sibuk memikirkan karunia yang belum kita miliki, apalagi sibuk dalam iri dengki karena melihat keberuntungan yang diperoleh orang lain, selain hanya menguras energi kita secara sia-sia, juga bisa menjerumuskan kita kepada kufur nikmat. Lebih baik kita sibuk menikmati dan mensyukuri karunia Alloh yang sudah ada di tangan kita. Semakin kita bersyukur, semakin kita bahagia dan semakin bertambahlah karunia Alloh untuk kita. Aamiin yaa Robbal ‘aalamiin.[]

*** Silahkan bisa di share untuk sahabat dan saudara lainnya. Semoga menjadi jalan amal kebaikan. Aamiin..

Kamis, 14 April 2016

Untuk Para Ibu yang Kerja di Luar

JOIN US ON FACEBOOK 

Toggle navigation

Sebuah Kisah dari Ibunda Daffa Buat Para Ibu yang Kerja di Luar

 Posted on 2016-04-11 09:35

Pesan Dari Ibunda Daffa Untuk Para Ibu Yang Kerja Di Luar:

Assalammualaikum wr.wb,

Working mom ataupun Full mom bagi saya adalah sebuah pilihan, pada saat Alm. Daffa berusia 6 bulan saya memilih menjadi Working mom, niat yang sama dengan working mom yang lain "membantu suami" memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Jangan ditanya, bagaimana perasaan saya saat itu, berat sekali rasanya meninggalkan bayi untuk bekerja, meskipun nenek nya sendiri yang mengasuh Alm. Daffa. Bisa dibilang waktu saya bersama Alm tidak terlalu banyak, berangkat pukul 08:00 pagi, pulang sampai rumah pukul 08:00 malam. Sudah bisa ditebak, sampai rumah lelah, masih harus mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, memasak untuk MPASI Alm esok paginya (saya kerjakan malam), saat Alm berusia 6 bulan saya masih tergolong sebagai ibu muda, berusia 24 tahun, bisa dipastikan emosi belum stabil.

Kesibukan sebagai Working mom, ditambah saya tidak bisa mengatur waktu untuk memenuhi segala kebutuhan Daffa, membuat asupan gizi, asupan kasih sayang, asupan perhatian untuk Daffa jauh dari batas cukup (Alhamdulillah imunisasi 5 dasar lengkap) , ditambah saat usia Daffa menginjak 3 tahun 7 bulan sang adik lahir, makin berkurang perhatian saya untuknya.

Saya akui, saya ibu yang bodoh, saya tidak dapat menangkap sinyal-sinyal yang diberikan Daffa, bahwa dia butuh perhatian, bahwa dia merasa tersisihkan. Mengapa saya begitu telat berfikir, ketika tiba-tiba saja Daffa berubah menjadi sangaaaat nakal, tiba-tiba saja Daffa berubah menjadi anak yg tidak menurut, tidak seperti sebelum adiknya lahir.

Saya jadi lebih sering marah terhadapnya, lebih sering cepat terpancing emosi saat mendengar rengekannya, dan lebih bodohnya, saya meminta anak usia 3 tahun 10 bulan itu untuk bersikap lebih dewasa karena sudah punya adik..., dimana fikiran saya saat itu...??? Yaa Allah ampuni saya....

Pada Maret 2015, Arkha berusia 6 bulan, saya putuskan untuk berhenti kerja, karena saya mulai berfikir untuk benar-benar merawat Daffa dan Arkha. Daffa mulai terlihat tidak se-sehat seperti biasanya, badannya mulai kurus, nafsu makan memang sudah kurang semenjak dia berusia bulanan. Saya berfikir pasti karena saat Daffa memulai MPASI nya dulu saya tidak benar-benar mensupport kebutuhannya, sehingga ia tumbuh menjadi balita pemilih makanan.

23 Maret 2015 Daffa berusia 4 tahun dan berat badannya hanya 12 kg dengan tinggi badan 105 cm. Akhir Maret kondisinya benar-benar mengkhawatirkan, Daffa selalu muntah saat kami mengajaknya pergi keluar. Makanan selalu tidak bertahan lama dalam lambungnya, lalu keluar kembali, demam disertai batuk-pilek dengan waktu yang lumayan lama 8-10 hari.

06 April kami membawanya ke puskesmas, hasil tes darah menunjukkan Daffa hanya anemia dan kekurangan gizi, sedangkan demamnya hanya diberikan paracetamol dan antibiotik. Sepulang dari puskesmas saya coba berikan terapi yg disarankan dokter puskesmas, sampai 10 hari kemudian panasnya tak jua hilang.

Saya berkeyakinan Daffa bukan hanya demam, anemia, dan gizi buruk biasa, saya bawa Daffa berobat ke Rsud Cengkareng, dengan harapan dokter Spesialis Anak akan memberikan jawaban dan penanganan yg tepat untuk masalah kesehatan daffa. Masalah biaya biar Allah yg mengatur (karena jika tidak dapat rujukan kami datang sebagai pasien umum).

Ternyata kekhawatiran saya terjawab, dari hasil mantoux, gambaran darah tepi dan hasil scoring Daffa mengidap Flex paru atau TB, kaget...?? Saya lebih shock.... Bagaimana bisa daffa mengidap TB...? Siapa dan apa yang menularkannya...?? Apa saya temukan jawaban...?? Tidak...! Saya tidak tahu apa-apa tentang Daffa, saya sibuk dikantor, saya sibuk dgn pekerjaan rumah, saya sibuk sebagai ibu baru untuk Arkha.... Saya lalai, saya tidak tahu dengan siapa saja Daffa bermain, punya riwayat TB kah..? Saya tau..?? Tidak..! Saya tidak tahu, sampai kuman TB itu hinggap di tubuh mungilnya, menginfeksi paru nya... Ooh tidak bukan menginfeksi paru, sampai saya tau pada hari naas itu,

18 Juni 2015 Daffa harus dirawat karena semenjak pengobatan TB dimulai pada April demam Daffa tidak kunjung reda, hari itu Daffa masih merengek minta pulang, menangis, memohon kepada kami untuk membawanya pulang, namun besar harapan kami setelah beberapa hari saja Daffa dirawat ia akan pulih, kami berharap, kami memiliki harapan itu, namun tidak pada kehendakNYA,

20 Juni Daffa sudah tidak sadarkan diri, 21 Juni CT scan pertama dalam hidupnya, dan kejamnya, kuman terkutuk itu menginfeksi disana... di otaknya, hancur hati saya seketika itu juga, saat itu semua memori bagaikan roll film yang dipurptar berulang-ulang menggambarkan kembali betapa saya adalah ibu yang tidak berguna, ibu yang lalai.

Berbulan-bulan saya disana, menunggu, tetap berharap senyum ceria nya, segala keusilan miliknya, dan tingkah nakalnya akan kembali menjadi milik saya, namun ketika mendapati hasil CT scan yg menggambarkan betapa terkutuknya kuman itu telah membuat aliran air di otak tersumbat, kesabaran saya kembali di uji, operasi..?? Apa yg akan mereka lakukan dengan otak kecilnya...?? Memasukan selang...?? Apa dampaknya jika tidak saya lakukan? Dan berapa persentase keberhasilannya...??

Jawabannya 50:50, resiko yg ditimbulkan akibat operasi akan sama besarnya dengan resiko jika tidak dilakukan operasi. Lalu apa yg harus saya ambil..??? Dua-duany sama-sam beresiko...?? Berat...?? Sangaat berat. Namun banyak sekali org yg perduli terhadap Daffa, para baik hati dari FP 1000 doa untuk Daffa banyak yg mengingatkan, bahwa seberat apapun masalah yang harus kita lewati, kembalikanlah kepada PemilikNYA, karena Dia jua yang memiliki jalan keluar atas masalah tersebut.

Dari ribuan doa yang saya lantunkan, hanya satu permintaan saya pada yang Maha Kuasa, "Mohon diberikan yang terbaik, dari segala yang terbaik untuk Daffa" karena mungkin yang buruk menurut kita belum tentu buruk bagi Allah, dan yang baik menurut kita, belum tentu baik bagi Allah. Dan Allah memberikan yang terbaik untuk Daffa, dengan mengangkat seluruh rasa sakitnya, dengan memberikannya kesembuhan, dimana tidak ada rasa sakit setelahnya, Daffa yang sempat memohon dan meminta untuk pulang, akhirnya benar-benar pulang pada 05 oktober 2015,

40 hari setelah menjalani operasi vp-shunt, dan atau setelah 3 bulan 2 minggu dirawat tanpa sadarkan diri, secara khusus daffa diantar pulang menggunakan mobil milik RSUD Cengkareng, yaitu mobil jenazah. Allah telah menegur saya, dengan mengambil kembali milikNYA, bahwasanya saya adalah ibu yang lalai, yang tidak baik dalam mengurus, merawat dan mendidik titipan yang Allah telah amanahkan.

Kini yang tersisa hanya janji dalam hati saya, janji yg saya iringi dengan perbuatan nyata, takkan ada lagi Daffa-daffa selanjutnya dalam hidup saya, saya Full mother sekarang, tidak ada yang lebih berharga dibandingkan full time untuk buah hati tercinta, tumbuh bersamanya, tertawa bersamanya, belajar bersamanya, melihat setiap momen-momen tumbuh kembangnya yang tidak akan terulang lagi sampai kapanpun.

Working mom ataupun Full mother....?? Itu pilihan masing-masing, namun bagi saya pribadi, rejeki saya sudah Allah titipkan bersama peluh suami saya, rejeki Arkha pun sudah Allah titipkan melalui tangan ayahnya, jadi saya kembali kepada fitrah saya sebagai seorang wanita, bahwa seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya....

Dalam kesempatan ini pula, saya ingin ucapakan beribu-ribu rasa terimakasih yang tidak terhingga, bagi para baik hati yang sudah mendoakan Daffa selama dirawat sampai Daffa berpulang ke rahmatullah, dan terkhusus bagi para baik hati yang telah menyempatkan waktunya untuk menjenguk Daffa dan memberikan sedikit rejekinya untu membantu keperluan Daffa selama dirawat, bahkan sampai dikebumikan, maaf tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terimakasih sudah mau menjadi saudara baru bagi saya sekeluarga.

Akhir kata, saya memohon maaf kepada seluruh baik hati FP 1000 doa untuk Daffa, jika dalam setiap tulisan saya ada kata-kata yang mungkin kurang berkenan dihati para baik hati semuanya, dan maafkan saya kepada yang telah memberikan saran agar FP ini tidak ditutup, namun saya tidak indahkan, saya hanya ingin menyimpan semua kenangan baik dan manis saja bersama Daffa, sedangkan FP 1000 doa untuk Daffa hanya akan terus membangkitkan rasa pedih, sedih, kecewa dan bersalah dalam hati saya.

Wassalammualaikum wr.wb

Ditulis oleh Sri Marlia, ibunda Alm. Daffa

Untukmu..Para Ibu Yang Lelah

Semangat Pagi...����������

Untukmu..Para Ibu Yang Lelah

Pekerjaan rumah tidak ada habisnya. Dari berantakan...rapi....tidak lama berantakan lagi.
Dari kotor....bersih....tidak lama kotor lagi. Anak-anak, suami, dapur, rumah dan seterusnya...dan seterusnya....

Ali bin Abi Thalib sebagai suami menuturkan betapa lelah istrinya mengurusi rumah yg tak seberapa besar itu. Tangan Fatimah putri Nabi yg mulia itu menjadi keras dan kasar karena harus menumbuk dan mengadoni sendiri dengan menggunakan roha (alat tumbuk saat itu). Hingga suatu hari mereka berdua mendengar bahwa Nabi mendapatkan budak yg bisa dijadikan pembantu.

Fatimah datang utk memohon pembantu dari ayah mulia Rasulullah. Tapi Rasul tidak ada di tempat. Fatimah hanya berjumpa Aisyah. Aisyah berjanji menyampaikannya.

Malam itu, saat Ali dan Fatimah sudah bersiap istirahat dan telah berbaring. Ayahanda Rasulullah datang...
Keduanya bersegera ingin bangun.
Rasul berkata: "Tetaplah di tempat kalian berdua."

Beliau mendekat dan duduk di antara mereka berdua hingga Ali merasakan dingin telapak kaki beliau mengenai perutnya.

Kemudian ayahanda Rasulullah berkata:
"Maukah aku tunjukkan pada kalian berdua yg lebih baik dari yang kalian minta? Jika kalian berdua sudah hendak tidur maka bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertakbirlah 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian berdua dari seorang pembantu."

����������������

Jika itu Fatimah, maka inilah ibunya Khodijah rodhiallohu anha.
Jibril pernah datang kepada Nabi. Tapi kedatangannya kali ini bukan menyampaikan ayat. Jibril datang turun dari langit yg tujuh sana hanya utk menyampaikan memberi salam. Salam untuk istri Nabi, Khodijah yg mulia.

Jibril berkata:
"Wahai Rasulullah, ini Khodijah akan datang membawa periuk ada lauk di dalamnya. Jika dia nanti datang sampaikan salam dari Robb nya dan dariku. Dan beritakan untuknya kabar gembira tentang surga yang tidak ada kegaduhan dan tidak ada kelelahan di dalamnya."

(Salam dari kami para ayah untuk para ibu yg lelah. Dua kisah istimewa dari dalam rumah nubuwwah. Untukmu para ibu.....
Selamat ibu, dengan semua kelelahan urusan rumah. Semoga salam Allah dan para malaikat untukmu dan surga balasan tertinggimu.
Salam untukmu para ahlul bait...)

Jangan Menilai Orang dari Ucapan Orang Lain tanpa Engkau Mengetahuinya

Asalamualaikum wr.wb,,,, pagi sahabat,,,
Sekedar renungan,,,,

Di dalam buku hariannya Sultan Turki Murad IV mengisahkan, bahwa suatu malam dia merasakan kekalutan yang sangat, ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya.

Sultan berkata kepada kepala pengawal: "Mari kita keluar sejenak".

Di antara kebiasaan sang Sultan adalah melakukan blusukan di malam hari dengan cara  menyamar.

Mereka pun pergi, hingga tibalah mereka di sebuah lorong yang sempit.

Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Sang Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu, ternyata ia telah meninggal. Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tak sedikitpun mempedulikannya.

Sultan pun memanggil mereka, mereka tak menyadari kalau orang tersebut adalah Sultan. Mereka bertanya: "Apa yang kau inginkan?.
Sultan menjawab: "Mengapa orang ini meninggal tapi tidak ada satu pun di antara kalian yang mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Di mana keluarganya?"

Mereka berkata: "Orang ini Zindiq, suka menenggak minuman keras dan berzinah".

Sultan menimpali: "Tapi . . bukankah ia termasuk umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam? Ayo angkat jenazahnya, kita bawa ke rumahnya".

Mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya.

Melihat suaminya meninggal, sang istripun pun menangis. Orang-orang yang membawa jenazahnya langsung pergi, tinggallah sang Sultan dan kepala pengawalnya.

Dalam tangisnya sang istri berucap kpd jenazah suaminya: "Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah.. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang sholeh".

Mendengar ucapan itu Sultan Murad kaget.. Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah sementara orang-orang membicarakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya".

Sang istri menjawab: "Sudah kuduga pasti akan begini..."

"Setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke toko-toko minuman keras, dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu di bawa ke rumah lalu ditumpahkannya ke dalam toilet, sambil berkata: "Aku telah meringankan dosa kaum muslimin".

"Dia juga selalu pergi menemui para pelacur, memberi mereka uang dan berkata: "Malam ini kalian sudah dalam bayaranku, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi".

"Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku: "Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pemuda-pemuda Islam".

" Orang-orangpun hanya menyaksikan bahwa ia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya dengan berbagai tuduhan dan menjadikannya buah bibir."

Suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku: "Kalau kamu mati nanti, tidak akan ada kaum muslimin yang mau memandikan jenazahmu, mensholatimu dan menguburkan jenazahmu".

Ia hanya tertawa, dan berkata: "Jangan takut, bila aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, para Ulama dan para Auliya".

Maka, Sultan Murad pun menangis, dan berkata: "Benar! Demi Allah, akulah Sultan Murad, dan besok pagi kita akan memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya".

Demikianlah, akhirnya prosesi penyelenggaraan jenazah laki-laki itu dihadiri oleh Sultan, para ulama, para masyaikh dan seluruh masyarakat.

(Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhory dari Mudzakkiraat Sultan Murad IV)

Wallahu a'lam bish shawwab.

*****
Saudara-riku tercinta...

Jangan suka menilai orang lain dari sisi lahiriahnya saja.
Atau menilainya berdasarkan ucapan orang lain.
Terlalu banyak yang tidak kita ketahui tentang seseorang.
Apalagi soal yang tersimpan di tepian paling jauh di dalam hatinya.

Kedepankan prasangka baik terhadap saudaramu.
Boleh jadi orang yang selama ini kita anggap sebagai calon penduduk neraka, ternyata penghuni Firdaus yang masih melangkah di bumi.

Jadi...
Jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja...

Rabu, 13 April 2016

Wahai Dakwah, Jangan Rebut Suamiku Dariku


Oleh Ust. Hakimuddin Salim, Lc. MA.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan”. (QS. At-Tahrim: 6)

Kisah nyata ini, terjadi di sebuah komunitas ilmu dan dakwah. Yang mana ada seorang istri dari mereka yang sudah menikah bertahun-tahun, namun belum bisa membaca surat Al-Fatihah. Bukan hanya tidak mengenal tajwid, Al-Fatihah yang tanpanya sholat tidak syah, ia tidak hafal dan terbata-bata membacanya.

Padahal konon sang suami adalah seorang kandidat doktor ilmu agama. Pemahaman dan komitmen dakwahnya juga tidak diragukan. Entah karena terlalu rajin menulis desertasi atau sibuk berdakwah, musibah itu benar-benar terjadi dalam keluarganya.

Realita itu baru terungkap saat di komunitas mereka diadakan halaqah tahfizh Al-Qur’an bagi para istri. Dari sinilah terpaksa pimpinan komunitas tersebut menetapkan kurikulum khusus yang wajib diajarkan kepada para istri, disertai mekanisme evaluasi atau ujian secara periodik dan berkala. Jika salah seorang istri tidak lulus, maka ada konsekuensi khusus untuk suaminya.

Itu baru satu kisah. Ada banyak cerita yang lain tentang para aktivis dan da’i, yang mungkin karena terlalu sibuk berdakwah di masyarakat, terlalu banyak amanah di organisasi, ia lupa mendakwahi dan mengajari ilmu orang terdekatnya: istrinya sendiri. Ironis memang, tapi itulah faktanya.

Seperti seorang istri yang mengeluhkan suaminya yang tidak pernah ada di rumah. Dari pagi hingga siang bekerja di luar. Baru pulang sebentar, sorenya sudah pergi lagi hingga larut malam. Alih-alih mau membantu kerjaan istri, saat ada sedikit waktu di rumah, ia memilih khusyu’ di depan laptop atau gadget. “Afwan Mih, Abi lagi banyak amanah nih!”, begitu jawabnya ketika ditanya.

Ada lagi yang sudah lama memendam sebel kepada suaminya, yang sepanjang pekan tak pernah ada waktu untuk keluarga. Senin sampai Jum’at sibuk bekerja. Sabtunya adalah jadwal rutin untuk liqo, rapat dan ngisi kajian umum. Hari Ahad yang tersisa, lebih sering terpakai untuk hadir kondangan, seminar, daurah, tabligh akbar, atau acara insidental yang lain.

Atau ada juga yang gundah tentang suaminya yang penghafal Al-Qur’an, namun sepanjang usia pernikahannya, belum pernah diajak tadarus bareng. Jangankan tahsin berdua atau saling menyimak hafalan, sang suami yang sering menjadi imam qiyamullail di berbagai acara dakwah itu, hampir tak pernah menjadi imamnya saat tahajud di rumah.

Beda lagi yang terhimpit masalah ekonomi. Saat suaminya yang belum mapan terlalu sering bepergian, tanpa meninggalkan uang pegangan. Mau berangkat khuruj katanya. Awalnya cuma sepekan. Lalu bertambah sebulan, kemudian menjadi berbulan-bulan. Hingga sang istri pun menanggung malu karena harus menjadi beban bagi kerabat dan tetangga. Tentu alasannya adalah perjuangan. Namun ceritanya akan lain, jika semua diatur dan disiapkan.

Lebih parah dari itu, cerita tentang seorang istri pendakwah ternama yang terjerumus dosa. Pesona keilmuan sang suami ternyata hanya benderang di depan para mad’u-nya, namun meredup dalam kehidupan berkeluarga. Ia tak pernah dinasehati, diajak berdiskusi, apalagi belajar mengaji. Walhasil, bukan hanya pakaian dan cara berhias yang jauh dari kriteria agama, sang istri pun terlibat perselingkuhan dengan teman lama. Wal ‘iyadzu billah.

Itulah beberapa cuplik cerita dari fenomena yang ada. Para istri aktivis itu, jika bukan karena rasa malu, mungkin mereka akan pasang status besar-besar, “Aku juga butuh ilmumu!”. Atau membentang spanduk lebar-lebar, “Aku juga butuh dakwahmu!”. Yang lebih ekstrim, mereka akan menyalahkan dakwah dan berteriak keras-keras, “Wahai dakwah, jangan rebut suamiku!”.

Sayangnya, sering para suami hanya bisa menjawab jeritan hati para istri tersebut dengan satu kata: sibuk. Padahal Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam sebagai qudwah utama para aktivis, di tengah kesibukannya sebagai Nabi, pemimpin negara, bahkan panglima perang sekalipun, ia tetap meluangkan waktu untuk mentarbiyah dan mendakwahi istri-istrinya. Para ummahatul mukminin itu, tidak hanya kebanjiran hormat, namun juga berkelimpahan ilmu dan nasehat.

Banyak sekali fragmen tarbiyah Rasul ‘alaihis sholatu wassalam untuk mereka. Seperti Aisyah binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang tidak hanya sekedar menjadi zaujah bagi Rasulullah, tetapi juga sebagai murid utama dan tersetia. Dia merasakan betul “ada bedanya” menjadi istri seorang pendakwah, karena sang suami sangat giat mengajarinya berbagai disiplin ilmu seperti akhlak, aqidah, fiqih, faraidh, dan tafsir.

Hingga Aisyah pun menjadi sosok perempuan Islam yang paling faqih, yang menjadi rujukan keilmuan para sahabat pada waktu itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’ bin Abi Rabbah radhiyallahu ‘anhu, “Aisyah adalah manusia yang paling paham dengan agama, paling berilmu dan paling baik pendapatnya”.

Aisyah juga menjadi sumber utama periwayatan hadits, tercatat sebanyak 2210 hadits telah diriwayatkan oleh para sahabat dari Aisyah. Hingga Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah kami mendapatkan suatu masalah tentang hadits, lalu kami datang dan bertanya kepada Aisyah, kecuali pasti kami mendapatkan jawabannya”.

Takdirnya sebagai perempuan, tak menghalanginya berkiprah dalam kancah ilmiah. Hingga dari didikan Aisyah telah lahir para imam dan ulama terkemuka dari kalangan Tabi’in seperti: ‘Urwah bin Zubair, Masruq bin Ajda’, dan Qosim bin Muhammad, yang menimba ilmu dari Aisyah di balik hijab di Masjid Nabawi.

Saat sang istri berbuat kesalahan, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam juga tidak segan dan bosan untuk mengingatkan. Tentunya dengan kelemah-lembutan. Seperti suatu hari ketika Aisyah membeli kain penutup yang bergambar makhluk hidup. Sebagai pengingkaran, Rasulullah tidak jadi masuk dan berdiri di depan pintu.

Saat itu Rasulullah hanya terdiam dan menampakkan ekspresi tak suka. Aisyah pun merasa bersalah dan berkata, “Wahai Rasululullah, aku bertaubat kepada Alloh dan Rasul-Nya, apa salahku?”. Maka Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bertanya dengan lembut tentang kain bergambar itu. Aisyah pun menjelaskan semampunya.

Hingga Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersabda, “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan diadzab di hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang telah kalian buat!”. Lalu Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam melanjutkan, “Sesungguhnya rumah yang terpajang di dalamnya gambar mahluk hidup, tidak akan dimasuki Malaikat” (HR. Imam Bukhari).

Lain lagi para aktivis yang pandai berkilah. Saat dikritisi tentang istrinya yang bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan, cepat-cepat berapologi dengan kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam. Alih-alih melakukan evaluasi dan introspeksi diri, mereka seperti terhibur dengan kekufuran para istri utusan Alloh itu.

Padahal di belakang cerita pengkhianatan mereka berdua, ada sejarah panjang ratusan tahun kegigihan dan kesabaran Nabi Nuh dan Nabi Luth dalam mendakwahi keluarga. Apalagi para Ulama bersepakat, bahwa pengkhianatan dan kekufuran keduanya bukan dalam baghyu dan fahisyah.

Allah ta’ala telah mengingatkan para suami untuk serius menjaga istrinya dari siksa neraka. Bahkan sebagai penekanan, deskripsi tentang dahsyatnya neraka begitu jelas disini, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).

Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam juga telah mewanti-wanti, “Sesungguhnya Alloh akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau menterlantarkannya. Hingga Alloh akan bertanya kepada para lelaki tentang istrinya”. (HR. Ibnu Hibban).

Meluangkan waktu untuk mentarbiyah istri menjadi sangat penting lagi, jika para suami menyadari bahwa itu bukan sekedar kewajiban, namun kebutuhan yang sulit tergantikan. Karena para istri adalah al-madrasah al-ula (sekolah yang pertama) bagi anak-anak. Hasil didik macam apa yang akan lahir jika sekolahnya tak terawat bahkan rusak?

Cerita-cerita ironis di awal tadi mungkin hanya secuil fenomena yang menggejala. Semoga yang terjadi pada sebagian besar keluarga dakwah tidak demikian adanya. Seorang aktivis sejati tentu memahami bahwa istrinya adalah objek dakwah yang utama. Ia sadar betul bahwa tahapan dakwah kedua setelah memperbaiki diri sendiri (islahun nafs) adalah membina keluarga yang Islami (takwin bait muslim), bukan yang lainnya.

(Manhajuna/IAN)
#muhasabah  malam

Kamis, 07 April 2016

Jodohmu tentang baktimu kepada orang tua


Bukankah apabila Allah berkata kun (jadilah) fayakun (maka jadilah).

Lantas mengapa kau begitu galau teman terkait jodohmu? kau merasa was-was terhadap hidupmu? wajar, ya wajar ketika kita merasa begitu takut terhadap hidup kita. Baik tentang jodoh atau rejeki. Namun, seharusnya kita ingat kita ini hamba yang lemah, gak usah deh sombong diri di hadapan Allah, gak usah lah bersedih diri dengan urusan duni, kau tak punya hak menebak-nebak. tugasmu hanya berserah pada Allah atas setiap usaha yang kau lakukan. sederhana bukan?

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, apabila Allah berkata kun (jadilah) fayakun (maka jadilah)

^-^ coba deh baca cerita di bawah ini,  baca dulu yahhh ...

"Kun Fayakun Jodoh"

==================

Ini adalah sepenggal  kisah kehidupan seorang teman. Aku mengenalnya 3 tahun lalu, tepatnya ketika aku diminta mengajar ekstra bina vokalia di salah satu TK Islam di Surabaya, tempat ia mengajar.

Aku memanggilnya Bunda Dini. Perempuan kelahiran tahun 1991, satu tahun lebih muda dariku. Pembawaannya energik, penuh semangat, kadang celometan kalau bicara, khas orang Surabaya. Dia adalah seorang penghafal Qur’an dan menjadi fasilitator di beberapa Rumah Tahfidz di kota pahlawan ini. 

Tahun lalu aku mendengar kabar bahwa ia telah menikah. Merasa tak diundang di pernikahannya, aku omelin itu orang, “Bun, kalau aku memang tidak dianggap teman dekat, ya minimal dikabari-lah aku ini. Masa’ nikah gak bilang-bilang? Setidaknya aku bisa memberikan doa barokah buat kalian.”

“Gak punya pulsa buat SMS Sampeyan, Kak,” jawabnya santai. 

“Empret, ah!” 

Lalu, kami sama-sama tertawa.

Sepertinya tak ada yang istimewa dari perbincangan seputar pernikahan itu. Hingga ketika aku bertanya darimana ia kenal dengan sang pujaan hati, hingga tentang pernikahannya yang super mendadak itu, ia pun bercerita. Cerita yang nantinya akan membuat hatiku berkali-kali bergetar mendengarnya ….

***

Dini …

Aku terlahir sebagai anak semata wayang. Kini usiaku 25 tahun, dan penampilanku biasa saja. Shalihah tidak, celometan iya. Cantik tidak, jerawatan iya. Seksi tidak, gendut iya. Putih tidak, hitem banget. Terlalu biasa, kan? Bahkan jika  aku menawarkan diri kepada dua puluh laki-laki untuk menikahiku, bisa dipastikan mereka semua akan menolak. Tapi Alhamdulillah, aku tidak perlu susah-susah melakukan hal tersebut, karena setahun lalu Allah mempertemukanku dengan lelaki muda yang shalih, pintar, juga penghafal Qur’an, kemudian menyatukan kami dalam mahligai pernikahan suci. 

Semasa SMA, aku merupakan anak yang begidakan, banyak tingkah, suka keluyuran bersama teman-teman, mengaji juga jarang, meski tak pernah kulewatkan sholat fardhu 5 waktu. Menikmati masa-masa muda, begitulah pikirku.

Hingga sebuah cobaan membuka mataku. Tepat seminggu setelah aku menyelesaikan Ujian Nasional (UNAS) tingkat SMA, aku mendapat kabar bahwa ibuku menderita kanker serviks tingkat lanjut!

Dan dari sinilah titik balik kehidupanku dimulai…

Makin hari, kondisi ibu makin melemah. Berulangkali ia harus masuk rumah sakit untuk diopname, tentu saja dengan biaya yang tidak murah -- saat itu belum ada BPJS--. Imbasnya, perekonomian keluarga kami berantakan, bisnis  bapak bangkrut, dan ia mulai terlilit hutang. Dengan kondisi tersebut, aku sadar diri untuk tidak melanjutkan kuliah. Kukatakan hal itu pada ibu, dan beliau hanya menitikkan air mata di atas pembaringannya. Ibu meminta maaf karena membuat kuliahku tertunda. Aku menggeleng, berdalih bahwa toh kuliah bisa kapan saja. 

Suatu malam, kudengar ibu merintih di kamarnya. Saat kuhampiri, ia telah muntah darah. Cepat bapak membawanya ke rumah sakit. Setelah didiagnosa, dokter memberitahu kami bahwa kanker ibu sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Ketika berita itu kudengar, aku langsung lari menuju ruangan tempat ibu dirawat, dan memeluknya erat. Tak bisa kubendung air mata ini. Lemah ibu membelai kepalaku, aku makin terguncang.  Saat itu juga aku bertekad untuk menghafalkan al-Quran demi kesembuhan ibu. Aku ingat seorang penceramah berkata bahwa amal shalih bisa menolak bala’ dan musibah. Semoga dengan menghafalkan al-Quran, Allah mengangkat segala penyakit ibu.

Keadaan ibu makin parah di kemudian hari. Dokter berkata padaku, “Mbak, saya hanya seorang dokter. Tidak bisa menentukan hidup atau mati manusia. Tapi jika menurut analisa medis…”

“Apa ibu tak bisa sembuh, Dok?” ucapku bergetar.

Dokter itu menyentuh bahuku, menyuruh duduk. “Sebaiknya Mbak turuti saja permintaan ibu. Lakukan apa pun jika ibu meminta. Sudah saatnya Mbak senangkan hatinya.”

“Apa ibu tak bisa sembuh, Dok?” kali ini pandanganku mengabur.

“Sekali lagi, saya hanya seorang dokter. Tak ada kekuatan bagi saya untuk menentukan mati hidupnya manusia. Hanya Allah penggenggam setiap nyawa. Namun menurut analisa kami, penyakit kanker pada tubuh ibu Mbak sudah sangat parah. Kanker itu sudah membentuk benjolan sebesar kepala bayi di rahim ibu Mbak.” Dokter itu kembali menepuk pundakku.

Aku tertunduk pasrah. Allah, kuatkan hamba.

Malam hari setelah percakapan itu, ibu terbangun dari tidur, kudengar ia beberapa kali terbatuk. "Nduk, kemarilah."

Aku menghampiri ibu. "Iya, Bu."

"Nduk, boleh ibu ngomong sesuatu?"

Aku mengangguk.

"Semenjak sakit, ibu sudah gak pernah lagi sholat jamaah. Ibu pingin sekali sholat jamaah di masjid. Selama ibu di rumah sakit, apa kamu mau bantu ngantar ibu sholat jamaah di masjid rumah sakit?"

"Kan Ibu sedang sakit? Boleh kok sholat di ranjang. Sambil bobo juga boleh." 

Ibuku menggeleng, "Ibu pingin sholat jamaah di masjid. Ibu pingin dicatat Allah sebagai orang yang mujahadah pada-Nya, meski dalam keadaan sakit. Kamu mau bantu ibu, Nduk?"

Baiklah. 

Maka setelah itu, tiap hari kugendong ibu untuk sholat di masjid rumah sakit. Masjid itu berada di lantai 3, sedangkan ibu dirawat di lantai 1. Tiap hari aku gendong ibu melewati tangga dua lantai. Jika adzan Dhuhur berkumandang jam setengah 12 siang, maka jam 10 pagi aku sudah menggendong ibu ke masjid. Setiap menggendong ibu, aku selalu terkenang kisah Uwais al-Qorni, seorang pemuda yang rela menggendong ibunya yang lumpuh untuk pergi haji, mulai dari Yaman ke Mekkah, Mekkah ke Madinah, lalu kembali lagi ke Mekkah untuk tawaf. Bagiku, pengorbanan ini tak sebanding dengan pengorbanan Uwais. 

Pernah suatu ketika saat kami akan turun dari masjid ke lantai satu, ibu mengalami pendarahan. Darah yang keluar dari kemaluannya begitu banyak hingga mengotori lantai. Karena itulah kami dimarahi suster rumah sakit. 

“Gimana, sih, Mbak? Kalau gini, kan, jadinya kotor.”

Aku jawab tegas, “Akan aku pel. Tenang saja, Sus. Sebentar, aku bersihin tubuh ibu saya dulu.” 

Kembali kugendong ibu ke ruangannya. Dan aku masih ingat apa yang dibisikkan ibu saat itu:

“Nduk. Maafin ibu, ya? Gara-gara ibu, kamu jadi susah. Gara-gara ibu kamu gak sampai kuliah,” ibu mendekatkan wajahnya padaku. “Tapi ibu cuma bisa berdoa. Mudah-mudahan Allah memberikanmu kehidupan yang enak kelak. Punya suami yang baik agamanya, pinter, ganteng. Nduk, sekali lagi Ibu minta maaf.”

Andai tak sekuat tenaga aku tahan, mungkin air mataku tumpah saat itu juga.

Sekembalinya dari mengantar ibu dan membersihkan tubuhnya, aku mengepel darah ibu yang tercecer di tiga lantai rumah sakit.

Jika jadwal bapak menjaga ibu, aku tidak kembali ke rumah, melainkan jualan kue kering di dekat kampus Unair B, untuk menambah uang jajan. Di sela-sela berjualan, aku menghafalkan al-Quran. Dan pada selasa ba’da maghrib biasanya ada kajian di masjid dekat sana. Aku sering mengikuti pengajian itu. Kebetulan yang mengisi pengajian tersebut adalah  seorang pemuda ganteng, dan pastinya shalih. Aku sering mendapati akhwat-akhwat saling berbisik memuji ketampanan sang pemateri. Ganteng banget sih, emang. Aku juga mau, deh kayaknya. Hihi.

Aku lupa itu hari apa, ketika aku sedang berjualan, bapak menelponku. Ia mengabarkan bahwa ibu meninggal dunia. Aku serasa dihantam palu besar, linglung. Aku tahu ini bakal terjadi, tapi tetap saja aku tak siap menerimanya. Satu-satunya wanita yang pernah kudiami rahimnya telah tiada. 

Ibu dikuburkan hari itu juga. 

Hari-hari berlalu, kesedihan ditinggal ibu mulai luntur. Benarlah, bahwa waktu akan mengobati segala luka. Tugas kita hanya mengikhlaskan apa yang terjadi. Kini selain menjadi guru TK, aku juga jadi fasilitator penghafal Quran di yayasan milik ustad Yusuf Mansyur. Surprise, ternyata eh ternyata, di yayasan itu aku sekantor dengan pemateri ganteng di masjid dekat tempat aku jualan kue dahulu. Eh, ternyata dia masih bujang, loh.

Tentu saja aku tak pernah berandai-andai untuk jadi pendampingnya. Siapa mau denganku yang tak istimewa ini? Tapi setiap kali berkomunikasi, atau hanya bertegur sapa dengannya, hati ini langsung nyes. Ah, seandainya saja …, woy, pergi jauh-jauh baper. 

Entah semalam mimpi apa aku ini, sebab Kamis sore, ada 3 akhwat teman kerja menitipkan proposal nikahnya padaku untuk dilanjutkan ke si ustad muda ganteng itu. Bayangkan! 3 orang! Aku sampai berpikiran kalau mereka pasti mau dipoligami sekaligus. Hahaha. Eh, tapi gimana kalau aku ikutan daftar? Siapa tahu kepilih? Kan, pas tuh 4 orang. Tuh, kan baper lagi. 

Mungkin inilah keajaiban jodoh. Cara Allah menjodohkan seseorang memang unik. Pada bulan kedua setelah aku menyampaikan ketiga proposal nikah itu ke si ustad ganteng, tiba-tiba murobbiku, guruku dalam menghafal al-Quran bilang padaku.

“Bunda Dini sudah siap nikah belum?” 

“Ya, kalau ada yang mau sih, gak papa, Ustadah. Hihi,” jawabku cengengesan.

“Berarti siap? Soalnya ini ada yang minat dengan Bunda Dini.”

Aku melongo, “Eh, siapa?”

“Nanti ana kasih proposalnya. Mau kan?”

“Ya, asalkan dia cowok saja, Ustadah.” Entahlah, aku kok tidak bisa meninggalkan cengengesan ini.

“Bukan hanya cowok, Bun. Dia ustad, ganteng, pinter lagi, dosen farmasi Unair. Sama seperti Bunda Dini, dia juga penghafal al-Quran,” kata murobbiku mantap.

“Siapa sih, Us?”

“Nanti ana kasih biodatanya, gak sabaran banget sih.” Ustadahku tersenyum.

Aku salah tingkah.

Dan saudara-saudara. Tahukah kalian siapa lelaki yang kelak akan menjadi suamiku itu? Namanya Galuh, ustad muda ganteng pujaan teman-teman akhwat di kantor. Ustad yang membuat 3 akhwat menyetorkan biodata untuk disampaikan padanya.  

Hanya butuh 4 hari dari ta’aruf, akhirnya kami pun menikah. Cepat memang, sampai banyak terlupa siapa saja yang harus aku undang. 

Lalu kenapa aku yang dipilih? Padahal, demi Allah, aku tidak ikut menyetorkan biodata padanya. Bukankah ketiga temanku yang menitipkan proposal waktu lalu jauh lebih menarik dariku? Amalan apa yang membuatku hingga nantinya menjadi istri dari lelaki istimewa itu?

Sekejap aku teringat kata-kata ibu ketika aku menggendongnya menuruni masjid rumah sakit dari lantai 3 ke lantai 1 tempo itu: 

“Nduk. Maafin ibu, ya? Gara-gara ibu, kamu jadi susah. Gara-gara ibu kamu gak sampai kuliah. Tapi ibu cuma bisa berdoa. Mudah-mudahan Allah memberikanmu kehidupan yang enak kelak. Punya suami yang baik agamanya, pinter, ganteng. Nduk, sekali lagi Ibu minta maaf.”

Allahuakbar, semua doa ibu terkabul hari ini. 

***

“Nah, begitulah Kak ceritanya. Panjang banget, ya.” Bunda Dini kini meneguk segelas air, rupanya haus banget ia setelah bercerita. “Jadi sorry kalau aku terlupa ngundang Kakak.”

Aku tak lagi memperhatikan kata-kata Bunda Dini, yang terpikir di otakku sekarang ini adalah, “Aku harus menuliskan kisah ini. Agar pemuda-pemudi jomblo di luar sana tidak ngenes dalam penantian bertemu jodoh. Sebab, kunci mendapat jodoh hanya satu: BERBAKTI KEPADA ORANG TUA. Itu saja.”

TAMAT

Surabaya, 20 Feb 2016

10.23 WIB

Cerita diatas hunyu dapatkan dari temen via WhatApps ^-^ sangat menginspirasi, makanya hunyu share disini.

So, gimana? udah dapet sesuatu dari cerita di atas?

Nah, kalau hunyu nangkep nya sama. Tak usah galau dalam penantian bertemu jodoh. Sebab Allah punya rencana terbaik buat kita ^-^ Dan terus bahagiakan dan berbakti pada orang tua. Sebab, waktu kita terbatas, maka bahagiakan orang tua dan orang sekitar kita serta selalu berikan kebaikan pada semua.

Temen-temen yang baca post ini, Doakan hunyu yah biar tahun ini hunyu bisa ngelanjutin kuliah, karena ini permintaan orang tua hunyu. Semoga hunyu keterima di Universitas tempat hunyu daftar. Aamiin.

Terimakasih dan Selamat berbakti pada orang tua.