Minggu, 13 Desember 2015

KAFA’AH/KESETARAAN

Definisi Kafa’ah

Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi-a. Artinya adalah sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapatdalam al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam al-qur’an adalah dalam surat al-ikhlash ayat 4: walam yakun lahu kufuan ahad, yang berarti tidak suatupun yang sama dengan-Nya.

Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ahmengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.

Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.

Hukum Kafa’ah

Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.

Jumhur ulama’termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ahdipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum.

Bertolak nbelakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwakafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa min al-auliya’.

Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja.Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.

Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.

Dasar-Dasar Kafa’ah

Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalamkafa’ah

Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ahadalah:

Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.

Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.

Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.

Kemerdekaan dirinya.

Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.

Kekayaan.

Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

1. Diyanah

2.Terbebas dari cacat fisik.

Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

Nasab

Diyanah

3. Kemerdekaan dirinya.

4. Hirfah.

Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:

1.Diyanah

2. Hirfah

3.Kekayaan

4. Kemerdekaan diri

5. Nasab

Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar