Jumat, 23 Agustus 2019

Apakah benar jika seseorang yang orangtuanya bercerai, ia akan mudah juga untuk bercerai?

"Apakah benar jika seseorang yang orangtuanya bercerai, ia akan mudah juga untuk bercerai? Apakah ini berarti perceraian di turunkan?"

Ini yang menjadi pertanyaan saya beberapa tahun lalu yang cukup sering menjumpai orang yang mengalami perceraian ternyata berasal dari keluarga yang broken home.

Semakin kesini saya semakin paham bahwa memang hal semacam ini ternyata di turunkan. Akan tetapi yang perlu di garis bawahi bukan di turunkan melalui fisik akan tetapi secara mental.

Ada anak remaja yang bersumpah tidak mau menikah karena menyaksikan orangtuanya yang bercerai, dan selama orangtuanya bersama sering sekali bertengkar. Ia memiliki menyimpulkan membangun rumah tangga bukanlah ide yang bagus. Ia beranggapan bahwa keluarga adalah sumber penderitaan.

Ada laki-laki yang selalu bertengkar dengan istrinya karena merasa di atur oleh istrinya. Ia menikah lagi dan ternyata istri keduanya juga di rasa sama suka mengatur. Ia dengan mudah memutuskan untuk menikah lagi untuk yang ketiga kalinya, dan ternyata ia masih mendapati istri yang dirasa suka mengatur. Ia di besarkan oleh orangtua yang kurang harmonis. Ibunya sering melakukan kekerasan verbal dan fisik sewaktu ia kecil Ia benci terhadap ibunya hingga dewasa.

Ada perempuan yang sudah menikah tetapi mudah sekali tergoda dengan laki-laki lain, bahkan menggoda laki-laki yang memiliki istri. Ayahnya dulu meninggalkan ibunya karena perempuan lain, dan ia seringkali menjumpai ayahnya bermesraan dengan perempuan lain didepannya dan dihadapan ibunya sewaktu ia kecil. Anehnya di masa dewasa ia memiliki perilaku yang di bencinya sewaktu ia kecil. Suka "merebut" laki-laki yang telah beristri.

**
Tentu saja tidak semua anak yang tumbuh dalam keluarga dengan perceraian akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang mampu membangun rumah tangga yang harmonis. Namun saya begitu banyak menemukan orang-orang yang bermasalah dengan rumah tangganya adalah orang yang memiliki "keyakinan" yang kurang memberdayakan terkait kehidupan rumah tangga, bahkan ketika ia sebenarnya tumbuh di keluarga yang utuh.

Mari kita bahas lebih detil tentang hal ini.

Seperti yang kita tahu, bahwa keyakinan tidak ada yang salah, ia hanya melayani kita agar kita terhindar dari mara bahaya.

Saat seorang remaja diatas memutuskan tidak mau menikah, karena meyakini bahwa membangun keluarga adalah sumber dari penderitaan, ternyata keyakinan ini tertanam saat ia menyaksikan ayah ibunya sering bertengkar semenjak ia kecil. Ia merasakan penderitan batin yang amat sangat, dan berkesimpulan dengan tidak menikah maka ia akan terhindar dari penderitaan semacam itu lagi.

Jika sang remaja mempertahankan keyakinan ini, maka ia akan semakin banyak melihat "bukti-bukti" bahwa pernikahan dan membangun keluarga bukanlah ide yang baik. Sebaliknya, ia akan mengabaikan kenyataan yang dijumpainya, bahwa ada banyak orang yang bahagia dengan pernikahan mereka.

Inilah hebatnya keyakinan. Ia bisa membuat pikiran kita hanya fokus pada yang diyakini dan mengabaikan yang tidak diyakini.

Keyakinan ini letaknya di pikiran bawah sadar. Keyakinan cara kerjanya seringkali tidak kita sadari, dan tiba-tiba saja kita berada dalam suatu situasi akibat perilaku dan sikap kita, yang sebenarnya perilaku dan sikap kita itu adalah hasil dari keyakinan kita sendiri.

Contohnya ketika kita memiliki keyakinan bahwa kita tidak pantas memiliki banyak teman, bahwa teman-teman tidak menyukai kita, pertemanan itu tidak ada yang tulus. Maka saat kita berada di suatu lingkungan, kita akan menghindari berteman dengan orang-orang yang ada disana. Feedbacknya adalah kita dianggap sombong atau setidaknya kita dianggap tidak mau berteman. Nah ketika kita dianggap seperti itu, maka mereka tidak mau mendekati kita karena merasa kita tidak mau didekati, dan ketika kita melihat mereka tidak mendekati kita, maka keyakinan negatif kita tentang pertemanan semakin menguat.

"Nah benar kan dugaanku, memang saya ini tidak bisa bergaul"

" Teman-teman memang tidak suka sama saya"

" Aku selalu sendiri setiap waktu, tidak ada gunanya berteman"

Anda bisa mengamati bukan? Keyakinan negatif ->perilaku menghindar ->dampak dari perilaku menghindar (tidak punya teman) -> keyakinan negatif menguat

Dari sini kita bisa pahami bahwa kita terjebak dalam situasi sedikit teman ini karena apa? karena KEYAKINAN kita sendiri.

***

PERILAKU DAN SIKAP KITA ADALAH PROYEKSI DARI KEYAKINAN KITA

Inilah yang terjadi. Sehingga jika kita ingin mengubah perilaku dan sikap kita, yang pada akhirnya akan mengubah nasib kita secara signifikan, maka harus mulai darimana? ini menarik!

Anda bayangkan di hadapan anda ada laptop yang terhubung dengan proyektor. Proyektor itu menyala dan memproyeksikan tulisan tertentu di tembok. Nah ... jika ingin anda mengubah tulisan di tembok tersebut, kira-kira apa yang anda lakukan?

Apakah anda menulis dengan spidol, menambahinya dengan beberapa coretan di tembok huruf yang ingin anda rubah?

Apakah itu tidak bisa? tentu saja bisa, akan tetapi itu bukan solusi yang permanen. Karena saat arah proyektornya di arahkan ke tempat lain, maka hurufnya akan tetap sama. Tidak berubah seperti pada awalnya.

Jadi bagaimana agar huruf itu benar-benar berubah?

Edit filenya di laptop!

Sama dengan perilaku dan sikap kita. Jika kita hanya berfokus pada kekuatan KEHENDAK, maka itu sama seperti mengedit huruf di tembok saja. Itulah mengapa saat ada orang ingin mengurangi berat badan atau berhenti merokok dengan hanya melibatkan niat pikiran sadar (kehendak), ternyata hanya bertahan paling lama 2 minggu.

Ini karena pikiran sadar hanya berperan 12% dalam kehidupan kita dan sisanya (88%) adalah peran dari pikiran bawah sadar. Anda boleh percaya atau tidak terkait terminologi ini, itu terserah anda. Akan tetapi anda pasti sudah berulangkali membuktikan bahwa sekedar kekuatan KEHENDAK saja tidak akan cukup untuk membuat suatu perubahan yang besar.

Solusinya adalah mengubah KEYAKINAN LAMA kepada KEYAKINAN BARU yang memberdayakan.

Namun sayangnya ketika kita coba "mengulik" keyakinan lama ini, biasanya orang itu akan merasa sangat tidak nyaman, merasa marah, tersinggung atau yang lebih sering akhirnya menjauh dari kita.

Itulah mengapa beberapa orang tidak mau datang ke terapis meskipun mereka tahu ada yang salah dengan diri mereka.  Secara bawah sadar keyakinan itu tidak mau di hilangkan. Mereka hidup seperti layaknya makhluk yang tidak mau jika di "matikan".

Namun sampai kapan akan hidup seperti itu terus? mungkin kita tidak merasa bermasalah karena ada semacam tameng yang membuat kita tidak lagi merasa bermasalah, akan tetapi kita bisa amati di lingkungan kita, apakah mereka menganggp kita bermasalah? jika YA, maka mungkin saja itu diri kita yang sebenarnya.

Regard,
Danang Baskoro, M.Psi., Psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar