By Ario muhammad
Namanya dopamin, salah satu hormon terpenting dalam otak manusia yang didaulat sebagai sumber motivasi terbesar dalam diri seseorang. Salah satu pusat yang memicu kita merasakan kesenangan atau kesedihan. Karena perannya yang sangat vital, seseorang yang memiliki kandungan dopamin yang berlebihan akan menderita skizorfenia. Sebaliknya, bagi yang kekurangan dopamin dalam otaknya, maka ia akan beresiko terkena parkinson disease.
Untuk menjalankan fungsinya dengan baik, dopamin membutuhkan dopamin reseptor. Salah satu jenis dopamin reseptor yang umum diketahui adalah DRD4 yang dicoding oleh gen DRD4. Ada salah satu variasi gen yang jika dimiliki seseorang, maka fungsi dopamin-nya tidak berjalan dengan baik. Namanya adalah 7-repeat allele (7PA). Lebih menakjubkan lagi, 7PA ini yang berhubungan langsung dengan perilaku seseorang, termasuk MODAL DASAR apakah seorang anak berpotensi TANTRUM atau TIDAK.
Saya cukup tercerahkan ketika membaca penjelasan ini dalam buku Scientific Parenting [1]. Seperti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dan Istri diskusikan tentang tantrum. Kami meyakini, bahwa ada anak-anak yang memang terlahir punya potensi untuk tantrum. Sebaliknya, ada juga yang memiliki resiko rendah untuk tumbuh menjadi anak yang tantrum.
Adalah hasil penelitian dari dua pakar efek 7PA terhadap perilaku anak asal Belanda (University of Leiden): Prof. Kranenburg & Prof. Ijendoorn yang menarik untuk kita simak [2]. Kranenburg-Ijendoorn ini merekrut 47 orang Ibu yang memiliki bayi berumur 10 bulan dan mengikuti perkembangan anak-anak mereka hingga berusia 3 tahun. Mereka bahkan merekam semua aktivitas sang Ibu dan anak agar bisa memnatau perkembangan mereka.
Ke 47 Ibu tersebut dikategorikan ke dalam DUA respon grup: RESPONSIF dan NON-RESPONSIF groups [3]. Responsif grup berarti golongan para Ibu yang dengan cepat merespon kebutuhan anak mereka, mampu memahami kebutuhan anak mereka dengan tepat, memberikan respons yang benar atas keinginan anaknya, juga sering merespon keinginan anak mereka. Sebaliknya, non-responsif grup adalah para ibu yang lambat, kurang paham, dan tidak sering merespon keinginan anak mereka [4].
Untuk mempelajari efek gen DRD4-7PA pada anak, mereka juga mengambil sampel DNA setiap anak untuk mengetahui apakah ada kandungan DRD4-7PA atau tidak. Agar objektif, Hasil DNA anak-anak ini baru dilihat ketika mereka sudah menyelesaikan semua hasil analisis pemantauan Ibu dan anak dari sampel mereka. Berbeda dengan sang Ibu yang lebih dipantau interaksi mereka terhadap kebutuhan sang anak, untuk anak-anak, kedua Professor ini fokus kepada AKSI mereka. Apakah mereka menunjukkan karakter agresifitas seperti membantah, memukul, membuang makanan atau mainan, marah, hiperaktif, dan aksi lainnya yang dekat dengan karakter tantrum.
Hasil riset mereka benar-benar menunjukkan dengan jelas bahwa LINGKUNGAN mampu MENGALAHKAN GEN BAWAAN, sama seperti beberapa hasil riset lain yang saya baca sebelumnya [5-6]. Anak-anak yang memiliki gen 7PA tetapi tumbuh dalam asuhan kelompok ibu yang RESPONSIF justru memiliki tingkat agresifitas yang rendah & tidak beda jauh dengan anak-anak yang tidak memiliki gen 7PA. Sebaliknya, bagi anak-anak yang memiliki gen 7PA dan tumbuh dalam lingkungan kelompok ibu yang NON-RESPONSIVE, cenderung memiliki tingkat agresifitas DUA KALI LIPAT dibanding anak-anak yang memiliki gen 7PA tapi tumbuh dalam asuhan ibu yang responsif.
SEDERHANANYA: ada anak-anak yang punya POTENSI TANTRUM, tapi DENGAN POLA ASUH YANG TEPAT, ia akan tumbuh menjadi seseorang yang tingkat agresifitasnya rendah.
Saya lalu teringat dengan bab pertama buku HOW CHILDREN SUCCESS [7] yang membahas hasil riset pada interaksi antara Ibu dan anak Tikus. Lebih khusus lagi, sang peneliti tersebut membahas EFEK MENJILAT KEPADA PERTUMBUHAN ANAK TIKUS. Menjilat anaknya adalah satu cara Ibu tikus untuk menenangkan anaknya. Sejalan dengan hasil riset dua Prof. Belanda ini, anak tikus yang tumbuh dalam asuhan yang menenangkan cenderung lincah, berani, dan berperilaku tidak seagresif anak tikus yang kekurangan level dijilat ibunya :)
Selamat berkontemplasi!
Semoga kita semua mampu menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita.
----------------------------
[1] Letourneau, N & Joschko, J: Scientific parenting - what science reveals about parental influence, Dundurn Publishing, Toronto, 2013.
[2] Bakermans-Kranenburg, M.J, & Ijendoorn: Gene-environment interaction of the dopamine D4 receptor (DRD4) and observed maternal insensitivity predicting externalizing behaviour in preschoolers. Development Psychology, 48(5), 406-409, 2006.
[3] Yang lebih tepat adalah high-sensitivity and low-sensitivity groups karena NON-RESPONSIF bisa diartikan sebagai TANPA RESPON. Saya menggunakan non-responsif grup untuk memudahkan pembaca.
[4] Ibu yang masuk dalam kategori NON-RESPONSIF bukan berarti mereka IBU YANG BURUK. Tidak ada Ibu yang tak ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang baik dan well behaved. Terkadang, kurangnya respon sang Ibu ini karena kelelahan bekerja, sibuk, atau bahkan cenderung takut melakukan kesalahan interprestasi atas keinginan anak. JADI TULISAN INI BUKAN DALAM RANGKA MENJUDGE PARA IBU.
[5] Jaffe, S.R., et al.: Nature x nurture: genetic vulnerabilities interact with physical maltreatment to promote conduct problem. Development and Psychhopathology, 17(1), 67-84, 2005.
[6] Kauffman, J., et al: Brain-derived neurotrophic Factor-5-HTTLPR gene interactions and environmental modifies of depression in children. Biology Psychiatry, 59(8), 673-680.
--------
Btw, mau tahu kisah seru kami sebagai PhD parents di Inggris? Buku terbaru saya tentang MENGGAPAI CITA BERSAMA PASANGAN HIDUP akan mengupas semuanya dengan tuntas. Kalian akan diajak berkelana menuysuri hikmah tentang jodoh dan memilih pasangan hidup agar mimpi kalian tetap tergapai, pentingnya menuntut ilmu bagi para muslimah, perjuangan seorang Ibu dengan 2 anak yang studi S3 di Inggris, hingga pesan-pesan parenting berdasarkan pengalaman kami mendidik buah hati kami di UK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar